Langsung ke konten utama

Manusia terbaik yang pernah kumiliki


Juli, tahun 2016..

 

               Kamu membawaku ke sebuah kedai kopi di pinggir jalanan pasar minggu. Setelah pulang kantor di hari itu, kamu menjemputku di halte yang tidak jauh dari kantor, bersembunyi demi menjaga hati yang saat itu masih kamu jaga.

 

"Mau pesan apa?" tanyamu. Sembari melipat jaket merahmu yang super tebal itu. Aku hapal banget jaket merah itu, jaket yang selalu kamu gunakan ketika kamu on duty.

 

"Hmm, hazelnut deh coba, es yah. Aku lagi enggak mau begadang malam ini. Mau yang ringan ringan aja." kataku, menjelaskan.

 

Tidak lama setelah itu, kamu pun memesan minuman kopi untuk  berdua kepada barista yang ada di situ sekaligus membayarnya. Lalu kembali ke tempat kita duduk, di sisi pojok menuju pintu keluar kedai itu.

 

"Jadi kamu mau ngomongin apa?" tanyaku. Sambil memasang muka sejutek-juteknya.

"Jangan jutek gitu dooong ndut, kamu makin gemesin deh kalo lagi cemberut gitu." godanya.

 

Aku diam. Sambil berpura pura memainkan smartphoneku. Melihat-liat social media, untuk mengalihkan kesempatan melihat raut wajahnya. Karena aku tau, aku ini perempuan gampangan. Gampang memberikan luluh, gampang memberikan maaf.

 

"Ndut, aku tahu posisi kamu saat ini sangat tidak enak, aku paham. Cuma kamu harus tau, saat ini aku sedang berusaha menyelesaikan semua urusanku sama Dia. Biar benar benar sampai clear, biar kita tidak  harus ngumpet ngumpet seperti ini."

Katanya, tentu dengan suara rendah dan raut muka memelas. Atau sengaja dimelas-melasin. Entahlah, aku juga kurang tahu.

 

Aku menghela nafas. Dan kebetulan saat itu kopi kami tiba. Jadi ada aja yg bisa ku mainkan selainkan smartphone saat itu, yaitu sedotan kopi.

 

"Kenapa? Kenapa kamu tidak mau bertahan aja sama dia dan melepasku? Jujur, aku lelah. Aku ini perempuan, adik kamu juga perempuan. Kamu inget itu harusnya. Sebelum kamu bener bener usai dengan pihak satu, harusnya kamu jangan kayak gini ke aku." Ucapku.

 

Dia baik, manis dan perhatian. Aku tidak peduli status posisi kami di kantor ataupun jenjang Pendidikan kami, yang aku tahu, dia amat sangat berusaha.

 

Tanpa melihat matanya. Aku tahu. Aku sudah sayang sekali sama pria di depanku saat ini. Pria pertama yang benar membuatku senang bukan kepalang setiap ketemu di kantor. Pria yang senyumnya semanis gula jawa. Pria yang warna kulitnya jauh dari kata putih. dan pria yang tinggi badannya melebihiku, dua puluh lima sentimeter.

 

"Apa harus aku jelaskan berkali kali supaya kamu mengerti? Dia sangat berbeda sekali dengan kamu. Dan aku sudah capek sama dia. Aku melihat sosok yang 180 derajat berbeda di kamu. Kamu pinter, kamu mandiri, kamu biasa cari uang dari usia muda, kamu enggak biasa pulang malam dan kamu enggak kasar." Ucapnya dengan hati hati. Menatapku lurus. Saat itu, tidak ada cengengesan yang keluar dari mulutnya.

 

"Aku mohon, kamu bersabar sedikit lagi yah." Lanjutnya.

 

               Setelah itu, aku bersikap bodo amat. Tidak mengejar tapi mulai memberikan jarak . Mencoba untuk membuka hati kembali dengan seseorang selain pria itu. Tapi entah kenapa, hatiku selalu merujuk kepada dia.

 

Kenyataan demi kenyataan harus ku hadapi, termasuk dengan temuan sahabat kantorku yang bertemu dengannya pria itu dan pacarnya di sebuah  warung tenda. Tepat setelah malamnya dia mengantarku pulang, esoknya dia menghilang.

 

"Oh gitu. Jadi setelah dia menghabiskan satu hari bersamaku, dia masih menjalankan kewajibannya mengantar pacarnya ke tempat lain."Gerutuku dalam hati.

 

Tapi toh, siapa aku. Saat itu. Aku bukanlah siapa siapa dibandingkan pacarnya yang sudah bertahun tahun. Aku hanya sosok baru di lingkungan pergaulannya. Aku hanya teman kerja. Teman teman di sekelilingku, tiada lelah memarahiku atas dasar kebodohanku. Mereka membuaT segala rumor yang ada di kantor tentang pria itu. Supaya aku ilfeel.

 

Tapi kalian pasti paham, perasaan itu susah untuk menghilang, dia membuat hari harimu berbeda. Di satu hari dia membuatmu merasa special, tapi di hari lain, dia juga membuatmu merasa seperti sampah.

 

Saat itu, akhirnya aku memutuskan buat menghindari temu dan menghilangkan kontak dengannya. Tapi, sejauh jauhnya aku menghindar ya namanya teman satu kantor pasti akan ketemu kan? Meski berbeda posisi dan bagian, kans bertemu pasti ada.

 

Meski sudah ku hindari, pada akhirnya, aku kembali luluh. Dan saat ini kondisi sudah sangat berbeda. Dia yang sudah selesai dengan masa lalunya, dan memintaku buat jadi pacarnya.

 

Dia memperlihatkanku whats app mereka terakhir sih, dan memang sepertinya hubungan mereka sudah benar benar berakhir. Dia kehilangan perempuan yang sudah menemaninya bertahun tahun, dan memilihku. Haruskah ku bangga? Bukan seperti ini awal hubungan yang ku inginkan sebenarnya.

 

Namun pada selanjutnya, kami resmi berpacaran dengan sedikit drama sebelumnya. Aku berusaha berdamai dengan keadaan kami sebelumnya, ditambah dengan usaha dia yang mati matian, mendekatiku dan keluargaku. Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan itu, perasaan dicintai, dipuja dan diinginkan.

 

Namanya Fahri. Itu panggilanku buatnya. Dan takjubnya, itu adalah nama panggilannya di keluarganya, padahal kenal juga dan tau dengan kebiasaan diapun masih tabu buatku. Disaat teman teman sekelilingnya memanggilnya Dani. Mau Fahri ataupun Dani, nama itu ada di bagian nama lengkapnya.

Dan itu membuatku, lagi lagi merasa special.

 

Buat sebahagiaan orang, menjadi tanda besar ketika aku memutuskan untuk menerimanya kembali, setelah masa pendekatan yang putus nyambung sebelumnya. Akupun saat itu bertaruh saat ini, bisa kah aku ? Menerima orang yang nyatanya pernah membuatku di posisi salah. Amat sangat salah.

Nyatanya, buat kami, aku-dia sama sama tidak mudah. Dia yang harus sekuat tenaga memperbaiki segala kesalahan sebelumnya, meyakinkanku sedemikian rupa, menjadi alasanku. Orang ini mau berubah, dan berusaha, pikirku.

 

Sosok itu sampai saat ini terus menghantui isi kepala dan hatiku, sejujurnya. Seperti pada hari ini, hampir lima tahun berlalu, dari terakhir duduk di kedai kopi itu. Aku yang sudah berusaha mengenyahkan sosoknya dari mimpi dan harapanku, nyatanya sampai saat ini masih berjuang. Karena hubungan kami telah berakhir. Jauh sebelum hari ini.

 

“Kalau kamu masih mencurigai aku terus, aku bisa aja ninggalin kamu lho. Aku enggak peduli meski orang tua dan keluarga kita udah ketemu.” Serunya, di pertengkaran kami kesekian kalinya. Aku hanya diam.

“Kalau aku masih ada niat main main sama kamu, buat apa usaha aku selama ini jungkir balik ngeyakinin kamu. Aku sama dia sudah lama berakhir kan, buat apa kamu selalu curigain aku terus terusan? Aku capek, Zi.”

 

Ketika dia memanggil dengan menggunakan namaku, artinya dia serius, Malam itu kami kembali bertengkar, dengan topik yang sama : mantannya. Mungkin ini karma buatku, aku yang menyingkirkan namun aku yang insecure terus menerus. Hal yang tadinya baik baik saja, menjadi tak karuan.

 

“Yaudah kalau begitu, silahkan kamu pergi.” Kataku, dengan segala kekeras-kepalaanku,

 

Dan setelah itu, dia benar benar pergi. Tanpa sepatah katapun. Tanpa ada ucapan salam penutup apapun layaknya sebuah cerita. Aku yang mendorongnya pergi. Dan dia benar benar membuktikan ucapanku, dia pergi.

Setelah tiga tahun berlalu dari hubungan itu, aku sempat masih melihatnya bergonta ganti pasangan. Padahal tahu, itu sakit. Tapi dasar perempuan, hobby aja menyakiti diri sendiri.

 

Selama kami bersama, dia menjadi penguatku, penghiburku. Penompangku ketika aku butuh dada untuk kupeluk. Fisiknya yang tegap selalu membuatku merasa terlindungi. Yang bisa mengambil hati kedua orangtua dan keluarga besarku. Yang mampu menerima semua kekuranganku, kecuali emosiku yang tidak bisa dikendalika.

 

Satu penyesalan terbesarku hingga saat ini adalah, belum bisa memperlakukan dia sebaik dia memperlakukanku selama itu.

 

Mungkin, bisa kubilang, dia adalah cinta pertamaku. Yang mengajarkanku tentang banyak hal.  Tentang rasanya patah hati yang belum sembuh tembuh. Dan yang pasti, tentang kehilangan.

 

Entah sampai kapan rasa kehilangan ini masih menemaniku sih, aku tidak tahu, Yang aku tahu, mungkin aku telah kehilangan salah satu sosok yang baik dalam hidupku.

===========================


btw, cerita ini pernah kuikutkan dalam lomba tulis naskah cerpen di twitter, 

Tapi aku memutuskan untuk tidak menerbitkannya menjadi sebuah buku. 


karena kamu, cukup menjadi kenanganku saja.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Event : JUMPA CALON PEMIMPIN JAKARTA 2017

Yeaaay, Event pertama kelar. Dan lanjut ke event selanjutnya. Yah, karena saya bekerja di stasiun televisi lokal yang lebih banyak acara yang bersifat news, event ini tidak jauh - jauh dari event politik,eh tapi enggak ada politik-politiknya sama sekali sih. Enggak ada kampanya, enggak ada debat. Event ini lebih kepada pengenalan lebih kepada calon pemimpin DKI Jakarta 2017 nanti dan peresmian stasiun tv kami sebagai stasiun resmi pilkada DKI dari KPU. Dan saya bekerja di dalamnya. Sedikit bangga. Event ini dinamakan... JUMPA CALON PEMIMPIN JAKARTA 2017 Bentuk undangan yang kami sebar. Pemilihan panitianya enggak ada sama sekali dilibatkan. Tahu-tahunya nama saya ada di dalam susunan LO atau Liasion Officer bareng Dian, Mas Eko dan Aisyah. Dasar Pak Okie.. Mana saya tahu kan liasion officer itu apaaaaa dan tibatiba dicemplungin gitu aja.Ternyata setelah saya baca baca lagi, LO itu penghubung antara pihak yang diundang dengan penyelenggara acara. Setelah prakteknya

Kisah Sepasang Suami Istri dan Kapal Pesial

Sebuah kapal pesiar mengalami kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. Sepasang suami isti berlari menuju sekoci untuk menyelamatkan diri. Sampai disana, mereka menyadari bahwa hanya ada satu tempat yang tersisa. Segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu. Sang istri hanya bisa menatap kepadanya sambil meneriakan sebuah kalimat. Sebelum sekoci itu menjauh dan kapal itu benar-benar tenggelam. Guru yang menceritakan kisah ini bertanya pada murid-muridnya, “ Menurut kalian, apa yang diteriakkan sang istri?” Sebagian besar murid-murid itu menjawab, “ Aku benci kamu!”, “Kamu egois!”, atau “Tidak tahu malu!” Tapi kemudian guru tersebut menyadari ada seorang murid yang diam saja. Guru itu meminta murid yang diam itu menjawab. Dan ternyata jawabannya diluar apa yang murid lain pikirkan. Murid tersebut menjawab: “Guru, saya yakin si istri pasti berteriak,’Tolong jaga anak kita baik-baik”. Guru itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu pernah mendeng

ASUS Vivobook Pro 14 OLED M3400

  Asus. Hem, pertama kali denger di telinga apa sih yang nyantol di kepala kalian? Honestly, kalo gue langsung kepikiran "brand yang tahan banting" sih. Bukan apa apa, sejarah handphone gue dengan merk tersebut bener bener membuktikan hal itu.  Saat itu, hp gue b ener-bener lompat dan terjatuh dari motor pas jalan, dan masih baik baik aja. Akhirnya mati total ya karena kecemplung di air. Sedih gue tuh.. Eh, kita skip deh ya curcolnya. Yang mau gue bahas di sini itu adalah tentang laptopnya . Dari brand yang sama, Asus.   ASUS Vivobook Pro 14 OLED M3400   Well, produk ini adalah produk terbaik asus untuk di kelasnya. Pada sadar kan? Bahwa semenjak pandemi dan semenjak menjamurnya kehidupan WFA ataupun hybrid system di kalangan akademisi ataupun karyawan perkantoran, kebutuhan akan laptop dengan daily driver yang bertenaga itu tumbuh secara significant?   Dan ASUS Vivobook Pro 14 OLED M3400 bisa jadi adalah jawaban untuk kebutuhan itu sendiri.   Hadir