Langsung ke konten utama

Antara Bis, Transjakarta dan Kereta Api


Buat kamu yang kemana-mana mengandalkan transportasi umum seperti saya, mana yang lebih kamu sukai?

Bis-Angkot, Transjakarta atau Kereta Api?

Sejak SD kelas 1 saya sendiri sudah terbiasa naik angkutan umum berupa microlet kecil berwarna biru yang bernomor kosong dua arah rawamangun-pangkalan jati untuk menuju sekolah saya dulu di daerah Pondok Bambu. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh saya belum mengeluhkan apa apa sih masalah angkot ini. Dulu ongkosnya lima ratus rupiah.

Kebiasaan naik angkutan umum ini berlanjut hingga saya duduk di bangku sekolah menengah pertama di daerah buaran. Dari sini saya sudah mulai kenal dengan metromini. Jadi waktu itu alternatif pilihannya ada dua, kalau saya malas jalan kaki sedikit dari tempat pemberhentian angkutan nomor  dua puluh dua tersebut. Dulu ongkosnya sedikit lebih mahal angkot yang saat itu seribu lima ratus sedangkan metromini hanya seribu.

Sekolah menengah atas mengharuskan saya naik angkut dua kali dari rumah. Karena angkutan umum dulu yang emnuju sekolah saya di daerah haji dogol agak sulit. Sampai pada masa masa saya berkuliah.
Karena makin gede (yaiyalah) saya merasakan banget tidak enaknya bergantung sama angkutan umum ini karena beberapa hal. Yang pertama suka ngebut-ngebutan, kadang saya suka mual disini. Apalagi kalau yang narik masih bocah. Beuuhh...
Ngerokok pula.

Tapi yang paling menyebalkan adalah kebiasaan angkutan umum ini untuk ngetem. Siapa yang enggak sebel coba? Waktu saya banyak banget terbuang disini. Padahal mah kalau enggak ngetem, perjalanan Pondok Bambu-Salemba hanya setengah jam sampai tiga perempat jam waktu itu.
Pufft.

Lalu ketika saya bekerja di hari-hari minggu pertama saya mengandalkan Transjakarta yang menurut orang-orang pada waktu itu sangat cepat dan ngirit waktu. Oke, kalau cepat datangnya sih iya.
Kantor saya saat ini berada di daerah Senayan, dan berdasarkan rute yang saya baca dari google waktu itu saya harus naik Transjakarta dari Kampung Melayu ke arah Harmoni. Setelah itu saya transit dan naik Tranjakarta lagi yang menuju arah Blok M. Turun di Bundaran Senayan.

Saya berangkat jam setengah enam pagi dan sampai kantor kadang bisa hampir jam sembilan. Kebayang enggak sih betapa tuanya di jalan waktu itu?
Keringetan, desek-desekan, belum lagi kadang ada aja kelakuan penumpang lain yang bikin emosi mendidih.
Alhasil mood nyampe kantor udah berantakan banget. Enggak efektif kan?
Apalagi begitu saya pulang. Balik lagi ke arah Harnoni dan ikut yang ke arah PGC.

Luar biasaaaa!!!
Well murah sih, berangkat hanya mengeluarkan ongkos dua ribu dan pulang hanya tiga ribu lima ratus.
Saya bahkan sampai bisa menghapalkan surat pendek ketika menunggu Transjakarta itu di haltenya.
Sampai rumah badan serasa remuk.

Kondisi seperti ini saya lalui beberapa hari sampai pada akhirnya saya merasa harus mencari alternantif untuk bisa menghemat waktu dan tenaga.
Akhirnya saya memutuskan untuk beralih dari Transjakarta ke Bis dua tiga belas arag Grogol-Kampung Melayu. Bis ini adalah bis tua dengan kondisi yang memprihatinkan tapi tetap menjadi pilihan nomor satu buat yang ingin cepat sampai. Well, supirnya kebanyakan adalah pengemudi yang sudah senior. Ngebut, tapi aman (emang ada?). Tapi berkat bis ini lah saya jadi cepat sampai kantor.
Naik bis ini hanya sampai Slipi, tepatnya di kawasan Jakarta Design Centre lalu lanjut lagi dengan Koantas Bima satu kosong dua arah Ciputat-Tanah Abang. Turunnya persis di Sogo Plaza Senayan.
Hemat tenaga bukan ? Walaupun dengan pengeluaran yang cukup besar.
Sampai di kantor pun saya masih riang karena dapet tidur di bis tersebut.

Tapi begitu pulaaaang.
Saya merasakan pegelnya kaki yang luar biasa karena jika naik Bis ini, saya harus rela berdiri hingga dua jam lamanya untuk sampai ke rumah. Saya naik dari kawasan Bendungan Hilir yang sebelumnya saya harus naik kopaja sembilan belas dulu untuk sampai daerah itu. Setelah saya sampai di daerah Jatinegara, saya harus menyambung lagi naik mikrolet tiga satu arah Kampung Melayu-Pondok Kelapa untuk sampai rumah. Alhasil dua jam-an lebih juga ternyata perjalanan dari rumah ke kantor kalau sore. Sebenernya sih kalau sore tidak masalah karena engga akan seriweuh pagi. Tapi buat saya tetep aja :'I
Mau pulang cepet mamaaaaa :'(

Lebay.

Finally, ditegur sama Ibuk-Ibuk di kantor yang rumahnya searah sama saya. "Kamu kok bego amat ngapain capek capek naik angkot. Naik kereta aja, cepet. Ada stasiun kan deket rumah?"

Ini dalem. "BEGO"
Walaupun cuma bercanda sih. Mau marah gimana nanti di-sue lagi sama kakaknya yang pengacara kondang itu -,-"
Ngelantur kan lama-lama..

Yup, walaupun sadis cara ngasih taunya akhirnya saya mencoba saran ibu ibu tersebut.
Saya dari kantor menuju stasiun sudirman terlebih dahulu. Dari stasiun sudirman saya naik kereta di jalur dua yang ke arah Bogor atau Manggarai. Tergantung yang mana yang dateng duluan sih.
Tapi saya lebih prefer untuk naik yang feeder Manggarai atau kereta tersebut hanya sampai stasiun Manggarai saja. Karena apa?
Karena kereta bogor sangatlah penuh, terutama di jam jam empat atau lima. Yang ada bisa naik tapi tidak bisa turun saking penuhnya. Pernah saya mencoba naik -nekad- punggung saya langsung sakit sakit begitu turun.
Nah, untuk kereta yang ke Manggarai saja itu adanya enggak sebanyak kereta yang jurusan ke Bogor. Makanya saya kudu cepat-cepat nih. Dan tidak sampai malam pula.
Sudirman-Manggarai cuma sekitar sepuluh menit paling lama kalau ndak ketahan karena sinyal masuk.
Begitu sampai di Manggarai saya harus berjuang lagi dengan "pejuang bekasi"

Karena saya harus menuju stasiun Jatinegara yang cuma 5 menit sebenernya dari stasiun Manggarai saya rela deh ya harus berdiri di pinggir pintu demi bisa keluar cepet dari kereta :/
Seperti itulah perjuangan naik commuter line.

Begitulah suka duka saya dalam memilih transportasi yang memungkinkan penggunaan waktu dan biaya menjadi lebih efisien.
Tapi saya berharap sih akan ada perubahan yang lebih baik dalam armada transportasi kita saat ini. Entah itu dari kuantitas ataupun kualitas infrastruktur yang terus menerus diperbaharui.
Jangan cuma menyuruh warganya untuk naik transportasi umum tapi perbaikan malah enggak ada.
Buat yang memiliki kendaraan pribadi, bersyukurlah kalian karena tidak harus merasakan seperti yang saya rasakan. :))

Komentar

  1. Hi Nourmalita salam kenal ^^ tman seperjuangan nih di rimba transportasi umum Jakarta. Setuju banget sama kamu, kita mah disuruh naik angkutan umum tapi semakin hari bukannya ada perbaikan malah...ya gitu deh, bersyukurnya sekarang sudah ada kopaja AC baru dan CL walau penuh tapi masih lumayan cepet daripada terjebak kemacetan yang bukan cuma bikin tua di Jalan tapi buang waktu percuma :D #curcol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaaakkk ternyata kita se-perjuangan ya mbak :')
      Bener banget itu. Meski ada perubahan sedikit tetap disyukuri tapi seharusnya diseimbangkan dengan usaha pihak pemerintah juga ya :))
      Salam kenal yaa mbak:))

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Event : JUMPA CALON PEMIMPIN JAKARTA 2017

Yeaaay, Event pertama kelar. Dan lanjut ke event selanjutnya. Yah, karena saya bekerja di stasiun televisi lokal yang lebih banyak acara yang bersifat news, event ini tidak jauh - jauh dari event politik,eh tapi enggak ada politik-politiknya sama sekali sih. Enggak ada kampanya, enggak ada debat. Event ini lebih kepada pengenalan lebih kepada calon pemimpin DKI Jakarta 2017 nanti dan peresmian stasiun tv kami sebagai stasiun resmi pilkada DKI dari KPU. Dan saya bekerja di dalamnya. Sedikit bangga. Event ini dinamakan... JUMPA CALON PEMIMPIN JAKARTA 2017 Bentuk undangan yang kami sebar. Pemilihan panitianya enggak ada sama sekali dilibatkan. Tahu-tahunya nama saya ada di dalam susunan LO atau Liasion Officer bareng Dian, Mas Eko dan Aisyah. Dasar Pak Okie.. Mana saya tahu kan liasion officer itu apaaaaa dan tibatiba dicemplungin gitu aja.Ternyata setelah saya baca baca lagi, LO itu penghubung antara pihak yang diundang dengan penyelenggara acara. Setelah prakteknya

Kisah Sepasang Suami Istri dan Kapal Pesial

Sebuah kapal pesiar mengalami kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. Sepasang suami isti berlari menuju sekoci untuk menyelamatkan diri. Sampai disana, mereka menyadari bahwa hanya ada satu tempat yang tersisa. Segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu. Sang istri hanya bisa menatap kepadanya sambil meneriakan sebuah kalimat. Sebelum sekoci itu menjauh dan kapal itu benar-benar tenggelam. Guru yang menceritakan kisah ini bertanya pada murid-muridnya, “ Menurut kalian, apa yang diteriakkan sang istri?” Sebagian besar murid-murid itu menjawab, “ Aku benci kamu!”, “Kamu egois!”, atau “Tidak tahu malu!” Tapi kemudian guru tersebut menyadari ada seorang murid yang diam saja. Guru itu meminta murid yang diam itu menjawab. Dan ternyata jawabannya diluar apa yang murid lain pikirkan. Murid tersebut menjawab: “Guru, saya yakin si istri pasti berteriak,’Tolong jaga anak kita baik-baik”. Guru itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu pernah mendeng

ASUS Vivobook Pro 14 OLED M3400

  Asus. Hem, pertama kali denger di telinga apa sih yang nyantol di kepala kalian? Honestly, kalo gue langsung kepikiran "brand yang tahan banting" sih. Bukan apa apa, sejarah handphone gue dengan merk tersebut bener bener membuktikan hal itu.  Saat itu, hp gue b ener-bener lompat dan terjatuh dari motor pas jalan, dan masih baik baik aja. Akhirnya mati total ya karena kecemplung di air. Sedih gue tuh.. Eh, kita skip deh ya curcolnya. Yang mau gue bahas di sini itu adalah tentang laptopnya . Dari brand yang sama, Asus.   ASUS Vivobook Pro 14 OLED M3400   Well, produk ini adalah produk terbaik asus untuk di kelasnya. Pada sadar kan? Bahwa semenjak pandemi dan semenjak menjamurnya kehidupan WFA ataupun hybrid system di kalangan akademisi ataupun karyawan perkantoran, kebutuhan akan laptop dengan daily driver yang bertenaga itu tumbuh secara significant?   Dan ASUS Vivobook Pro 14 OLED M3400 bisa jadi adalah jawaban untuk kebutuhan itu sendiri.   Hadir