Langsung ke konten utama

Masih Tentang Sosok Ibu.


Assalamualaikum,

Long time no see my blog!
Do you know how busy i am even in this weekend?

Hahaha. Lebay.
Emang dasarnya aja lagi no idea buat menuliskan sesuatu hal yang agak berbobot di blog ini.
Tapi saya rasa saya mau curhat lagi nih.

No.
Not about love.

Tapi tentang family time yang baru baru ini saya seratus persen sadar bahwa saya telah banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang di luar keluarga saya sendiri (baca : pekerjaan)
Bahkan minggu pun saya harus masuk karena ada urusan pekerjaan yang urgent.

Akhirnya untuk meng-kompensasikan waktu yang terpakai akhir minggu kemarin saya memutuskan untuk mengajak Ibu saya keluar. Kami berdua saja. Tanpa adik-adik, tanpa ayah.
Hanya kami.
Ibu dan anak yang layaknya sahabat.

Kebetulan hari itu saya memang berniat untuk membeli sebuah tas untuk bekerja. Tidak usah ditanya udah berapa banyak tas yang saya miliki. Tapi karena memang sudah hampir empat bulan saya tidak membeli tas baru membuat ibu saya jengah karena bosan katanya melihat saya yang menggunakan tas yang itu itu saja padahal sih menurut saya, saya sendiri sudah cukup nyaman dengan tas yang saya kenakan. Tapi begitulah ibu, beliau merangkap sebagai fashion stylist ku juga sehari-hari.

Sore kemarin kami memutuskan untuk pergi ke sebuah pusat pembelanjaan di daerah Jakarta Timur. Bisa dibilang Mall sih, walaupun tidak semegah Mall yang ada di kawasan Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan.
Kenapa sore?

Karena Ibu saya ada jadwal mengaji siang itu. Akhirnya sekitar jam lima kami baru berangkat.

Well, kami mengobrol banyak. Membicarakan apapun selama di kendaraan. Kadang terdiam dengan pikiran masing-masing.
Tidak lama setelah sampai dan memilih-milih tas akhirnya pilihan saya yang (tentu saja di approve dengan senang hati oleh ibu saya) jatuh kepada sebuah tas tangan kulit berwarna cream seharga 800-an. Tapi itu harga belum diskon kok. Setelah didiskon harganya bisa jadi setengahnya.
Khilaf juga sih saya membelinya karena budget saya untuk tas enggak segitu. Hanya berkisar digit kepala dua ataupun tiga. Sore itu..
Hampir setengah juta. Tapi lagi-lagi ibu saya meyakinkan "nah, kalau kamu beli tas yang bener gitu kan mama seneng, kamu punya duit kan enggak apa apa lah. Jangan kayak mama"
Saya cuma bisa menimpali..

"Aku kan bisa kerja gini punya uang sendiri juga karena mama. Doa mama, mah"

Lanjut kami berjalan jalan kembali ke supermarket untuk membeli isi kulkas (Kentang goreng kemasan, nuget ataupun daging untuk teriyaki).
Sehabis itu kamipun makan, saya tahu selera beliau hari itu sedang tidak enak. Saya sengaja menawarkan makan di restoran yang terkenal dengan es telernya. Tapi beliau menolak dengan alasan terlalu mahal. Padahal saat itu saya pikir bahwa harga tidak akan jadi masalah asalkan beliau makan dengan enak.

Kamipun turun ke bawah, saya menawarkan lagi untuk makan di sebuah restoran dengan harga yang tidak semahal dengan restoran pertama, beliau setuju akhirnya.
Dan lagi restoran tersebut tidak terlalu ramai dan terdapat kursi panjang yang membuat ibu saya bisa menselonjorkan kakinya. Hihi!

Ternyata harganya tidak beda jauh dengan restoran pertama. Ibu saya mengatakan "kita menghindari yang seharga itu malah dapet yang sama aja"

Kita tertawa bersama.

Ibu, oh Ibu..
Begitu lamanya kita tidak melakukan kegiatan bersama-sama seperti ini.
Berjalan bareng, belanja bareng ataupun makan diluar bareng.
Begitu lamanya saya tidak merasakan suasana seperti ini. Bercerita apapun tanpa harus takut dan malu. Mendengarkan cerita beliau yang mungkin sudah pernah beliau ceritakan sebelumnya kepada saya berulang-ulang kali namun tidak membuat saya bosan ataupun jengah.

Saya tatap wajahnya lekat-lekat sambil iseng untuk mengcapture wajah beliau yang sedang asik makan.
Usia ibu saya sebenarnya masih empat puluh tujuh tahun.
Tapi wajahnya terlihat sudah lelah sekali.
Saya tahu itu.

Tapi dibalik kelelahannya itu saya juga tahu, bahwa beliau masih menyimpan semangat untuk selalu bisa menjadi teman bagi anak-anaknya. Mengetahui segala sesuatu yang dialami anaknya tiap harinya.

Saya pernah menyarankan untuk mencari asisten rumah tangga untuk beliau, tapi lagi-lagi beliau menolaknya dengan alasan badannya akan lebih sakit-sakit jika tidak ada yang dikerjakan.

Ini perempuan saya.
Sahabat saya.
Malaikat penjaga saya.
Manager saya.
Semangat saya.

Makanya kadang saya suka merasa kenapa saya enggak bisa deket yang terlalu deket dengan yang namanya laki-laki untuk waktu yang lama itu karena saya sudah memiliki sosok itu di Ibu saya.
Walaupun beda yah konsepnya. Ibu dan pasangan.

Tapi jika boleh memilih, saya mencari sosok suami. Bukan sekedar yang untuk senang-senang saat ini atapun beberapa bulan ke depan.

Sebelum sosok itu datang, saya rasa tidak ada salahnya jika anak perempuan berusia dua puluh dua tahun masih sangat tergantung ibunya. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibunya, bukan teman atapun pacarnya.
Lebih banyak bercerita kepada ibunya bukan kepada media sosial.
Sebelum waktu dengan ibumu benar benar berakhir.

Iya berakhir.
Saya rasa saya mau berbagi kebahagiaan dengan Ibu sebanyak-banyaknya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Day 3 - A Memory

Ku berjalan di pinggir trotoar sebuah kawasan megah di Jakarta, menunggu mu menjemputku untuk pulang bersama, Kamu tahu, itu pertama kali kita menjalin hubungan diam diam. Kamu masih bersama dia dan hubunganmu yang bermasalah. Dan aku, sendiri. Lamban laun, kamu menyelesaikan hubungan itu dan menjalani hubungan dengan ku tanpa harus diam diam lagi, orang orang kantor pun tahu. Aku tahu, resiko ku saat itu sangat besar, mengambil seseorang yang bukan milikku. Tapi saat itu, dengan segala usaha yang kamu lakukan, berhasil meluluhkan hati seorang nourmalita zianisa. Aku juga teringat, betapa aku masih egois untuk bergantung sama kamu, semuanya harus sama kamu. Survey kost2an saat itu, kondangan, apapun, padahal aku tahu, bergantung itu tidak baik, dan terbukti saat ini, waktupun belum bisa menyembuhkan atau melupakan semua kenangan itu. Karena belum ada kenanga lainnya yang akan menimpaya. Ditambah, kamu yang setiap minggu menjemputku ketika kita mencoba menjalani hubungan jarak jauh. Yan...

Manusia terbaik yang pernah kumiliki

Juli, tahun 2016..                  Kamu membawaku ke sebuah kedai kopi di pinggir jalanan pasar minggu. Setelah pulang kantor di hari itu, kamu menjemputku di halte yang tidak jauh dari kantor, bersembunyi demi menjaga hati yang saat itu masih kamu jaga.   "Mau pesan apa?" tanyamu. Sembari melipat jaket merahmu yang super tebal itu. Aku hapal banget jaket merah itu, jaket yang selalu kamu gunakan ketika kamu on duty .   "Hmm, hazelnut deh coba, es yah. Aku lagi enggak mau begadang malam ini. Mau yang ringan ringan aja." kataku, menjelaskan.   Tidak lama setelah itu, kamu pun memesan minuman kopi untuk   berdua kepada barista yang ada di situ sekaligus membayarnya. Lalu kembali ke tempat kita duduk, di sisi pojok menuju pintu keluar kedai itu.   "Jadi kamu mau ngomongin apa?" tanyaku. Sambil memasang muka sejutek-juteknya. "Jangan jutek gitu dooong ndut , kamu makin ...

more than this

I’m broken, do you hear me? I’m blinded, ‘cause you are everything I see, I’m dancin’ alone, I’m praying, That your heart will just turn around, And as I walk up to your door, My head turns to face the floor, ‘Cause I can’t look you in the eyes and say, When he opens his arms and holds you close tonight, It just won’t feel right, ‘Cause I can love you more than this, yeah, When he lays you down, I might just die inside, It just don’t feel right, ‘Cause I can love you more than this, Can love you more than this If I’m louder, would you see me? Would you lay down In my arms and rescue me? ‘Cause we are the same You save me, When you leave it’s gone again, And then I see you on the street, In his arms, I get weak, My body fails, I’m on my knees, Prayin’, When he opens his arms and holds you close tonight, It just won’t feel right, ‘Cause I can love you more than this, yeah, When he lays you down, I might just die inside, It just don’t feel right, ‘Cause I can love you more than thi...