Langsung ke konten utama

Sebuah Rasa Yang Bernama Cinta


Sebuah rasa yang bernama cinta.

Hai rasa,
Akupun saat ini masih tidak tahu harus menyebut apa untuk kamu..
Untuk kamu yang kurasakan tiap detik..
Untuk kamu yang diam diam selalu kumimpikan..
Apakah ini engkau?
Atau hanya sebatas ilusi ku semata karena rasa ingin merasakan rasa itu lagi.


Hai rasa,
Sejujurnya aku takut memulai lagi. Takut akan rasa sakit itu datang kembali..
Rasa bergetar di dalam dada ini disebut apa ketika aku sedang bersamanya?
Tak tahukan aku sesungguhnya tidak pernah mengharapkan lebih dari sekedar berpapasan? Bertegur sapa dan melempar canda?
Kau memberikanku lebih dari itu.
Hal yang sangat ingin ku lakukan.


Hai rasa,
Bisa tidak engkau tidak keluar dulu sekarang?
Bisa tidak engkau lebih tersimpan lagi di dalam relung hati ini?
Bisa tidak engkau bersembunyi di balik motivasiku untuk menjadi lebih baik lagi?
Tak bisakah engkau rasa?
Teruslah dan tetaplah engkai bersembunyi.


Hai rasa,
Untukmu saat ini aku sangat pesimistic..
Aku tidak mau membuat tanggul rasaku jebol lebih deras, lebih banyak.
Karena pasti akan sia sia di ujungnya.
Tapi dayaku untuk tidak menyadari itu sungguh sangat sangat lemah.


Hai rasa,
Biarkan aku mendoakannya dari jauh.
Dari tiap senyum yang kusunggingkan untuknya.
Dari setiap pertemuan yang terjadi.
Dari candaan yang terlempar ketika aku bersamanya.
Dari iringan langkah kami ketika bersama
Dan
Dari setiap tetesan hujan yang ku harapkan..

Hai rasa,
Izinkan aku menjadi lebih baik lagi..
Aku ingin bersama dengannya..
Tapi rasanya malu sungguh dengan diriku yang sekarang.

Hai rasa,
Datanglah ketika aku butuh. Membutuhkan untuk mewarnai hidupku..
Dan untuk selamanya.

Hai rasa,
Izinkan aku mengatur diri lagi dan lagi.
Izinkan aku menjaga pandanganku..
Hanya untuk menjaga agar rasa itu tidak membuncah.

Rasa yang kurasakan saat ini mungkin tidak akan pernah tersampaikan kepada yang kurasakan.
Namun, aku tetap berdoa pada Tuhan
Mengemis di tiap adahan tanganku..
Memintamu...

Hai rasa,
Bisa tidak malam ini kau tidak sebirisik kopaja sembilan belas yang tiap sore aku naiki?
Hanya karena mengingatkanku pada yang teringat.
Aku ingin istirahat




Tempat tidur,
28 Januari 2015





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Event : JUMPA CALON PEMIMPIN JAKARTA 2017

Yeaaay, Event pertama kelar. Dan lanjut ke event selanjutnya. Yah, karena saya bekerja di stasiun televisi lokal yang lebih banyak acara yang bersifat news, event ini tidak jauh - jauh dari event politik,eh tapi enggak ada politik-politiknya sama sekali sih. Enggak ada kampanya, enggak ada debat. Event ini lebih kepada pengenalan lebih kepada calon pemimpin DKI Jakarta 2017 nanti dan peresmian stasiun tv kami sebagai stasiun resmi pilkada DKI dari KPU. Dan saya bekerja di dalamnya. Sedikit bangga. Event ini dinamakan... JUMPA CALON PEMIMPIN JAKARTA 2017 Bentuk undangan yang kami sebar. Pemilihan panitianya enggak ada sama sekali dilibatkan. Tahu-tahunya nama saya ada di dalam susunan LO atau Liasion Officer bareng Dian, Mas Eko dan Aisyah. Dasar Pak Okie.. Mana saya tahu kan liasion officer itu apaaaaa dan tibatiba dicemplungin gitu aja.Ternyata setelah saya baca baca lagi, LO itu penghubung antara pihak yang diundang dengan penyelenggara acara. Setelah prakteknya

Fokus

fokus buat skripsi :') fokus buat selesai kurang dari setahun lagi :') fokus buat mencari penghasilan yang lebih besar lagi :') fokus buat bahagiain diri sendiri :') focus buat segalanya.... hingga tidak terasa ada yanfg terjatuh.. hati. PRANG!!

Kisah Sepasang Suami Istri dan Kapal Pesial

Sebuah kapal pesiar mengalami kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. Sepasang suami isti berlari menuju sekoci untuk menyelamatkan diri. Sampai disana, mereka menyadari bahwa hanya ada satu tempat yang tersisa. Segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu. Sang istri hanya bisa menatap kepadanya sambil meneriakan sebuah kalimat. Sebelum sekoci itu menjauh dan kapal itu benar-benar tenggelam. Guru yang menceritakan kisah ini bertanya pada murid-muridnya, “ Menurut kalian, apa yang diteriakkan sang istri?” Sebagian besar murid-murid itu menjawab, “ Aku benci kamu!”, “Kamu egois!”, atau “Tidak tahu malu!” Tapi kemudian guru tersebut menyadari ada seorang murid yang diam saja. Guru itu meminta murid yang diam itu menjawab. Dan ternyata jawabannya diluar apa yang murid lain pikirkan. Murid tersebut menjawab: “Guru, saya yakin si istri pasti berteriak,’Tolong jaga anak kita baik-baik”. Guru itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu pernah mendeng